XII. PEMBUATAN MIE
A. Pre-lab
1. Jelaskan prinsip pengolahan mie?
Prinsip pembuatan mie yaitu dengan pembuatan adonan yang terdiri dari tepung terigu lalu dilakukan pengulenan, pemipihan dan pemotongan dengan bentuk spiral. Selanjutnya, hasil pemotongan spiral tersebut direbus dengan air. Namun demikian, proses atau prinsip dari pengolahan mie tergantung dari jenis mie yang akan dibuat. Untuk pembuatan mie kering, setelah pemotongan spiral, dilakukan perebusan dan dikeringkan, sementara itu untuk pembuatan mie basah tidak perlu pengeringan, lalu untuk mie instan dapat dibuat dengan metode ekstrusi dingin (Koswara, 2009).
|
2. Jelaskan pengaruh penambahan air khi dalam meningkatkan kualitas mie!
Air khi atau air abu sering digunakan dalam pembuatan mie. Komposisi air khi terdiri dari K2CO3 dan Na2CO. Air khi berfungsi sebagai bahan guna mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas serta meningkatkan kehalusan tekstur dan sifat kenyal pada produk mie (Purba, 2011).
|
3. Apakah peranan gluten dalam pembuatan mi?
Gluten merupakan kompleks protein yang tidak larut dalam air, berfungsi sebagai pembentuk struktur kerangka. Kandungan tersebut membuat adonan mampu dibuat lembaran, digiling, mengembang dan tidak putus saat proses pencetakan dan pemasakan (Badilangoe, 2012). Menurut Koswara (2009) gluten berperan dalam membentuk struktur mie yang elastis dan tahan terhadap penarikan sewaktu proses produksi. Gluten terdapat pada terigu dan akan bereaksi dengan karbohidrat apabila diberi air, sehingga akan membentuk sifat kenyal dari gluten (Antarlina dan S.Purnomo, 2009).
|
4. Bagaimana memilih bahan untuk disubstitusi dengan mie?
Pemilihan bahan yang digunakan untuk substitusi mie didasarkan pada sifat elastisitas yang dapat dimiliki oleh suatu bahan. Sifat elastisitas tersebut menentukan karena dalam pembuatan mie terdapat beberapa proses dimana bahan yang digunakan tidak boleh mudah putus. Elastisitas pada mie ditentukan oleh kandungan gluten pada bahan (Mahanany, 2013).
Bahan yang dipilih adalah bahan yang mengandung gluten agar mempertahankan tekstur mie tetap elastis. Seperti disubtitusi dengan Mocaf (Modifies Cassava Flour), gluten juga didapatkan dari biji gandum. Selain itu dapat juga ditambahkan bahan yang menambah nilai guna yaitu tepung porang. Dimana tepung ini berfungsi baik untuk sistem pencernaan karena memiliki sifat menyerap air yang tinggi (Faridah A dan S. Bambang, 2014).
|
5. Apakah peranan penggunaan telur dalam pembuatan mie?
Fungsi telur dalam pembuatan mie adalah dapat membentuk warna dan flavor yang khas pada mie, memperbaiki cita rasa dan kesegaran mie, membantu pembentukan adonan yang kalis, meningkatkan nilai gizi serta kelembutan pada mie. Telur memunculkan warna khas kuning mie. Telur juga berfungsi sebagai sumber protein dan air pada pembuatan adonan mie, karena albumin pada telur menyebabkan peningkatan kadar air pada mie. Selain itu, telur juga berfungsi sebagai penambah elastisitas mie (tidak mudah putus) dan mempercepat hidrasi air (Rosida dan R. Dwi, 2012).
|
6. Jelaskan karakteristik yang diinginkan pada saat pemasakan mie?
Pada pemasakan mie, peristiwa yang terjadi yaitu gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga produk yang dihasilkan nanti menjadi bertekstur kenyal. Pemasakan tersebut menyebabkan serat gluten menjadi tertarik serta adonan menjadi lunak, kaku dan elastis. Dalam proses gelatinisasi terjadi beberapa tahapan yaitu pembasahan, gelatinisasi serta solidifikasi. Mula-mula, mie mengalami pembasahan pada permukaan yang menyebabkan mie menjadi elastis dan tidak mudah patah. Lalu, terjadi penetrasi uap yang menyebabkan uap panas masuk dan terjadi gelatinisai sehingga mie menjadi liat dan lentur (Abdul, 2014).
Menurut Koswara (2009), berdasarkan mutu fisik dan kimia, mie instant yang berkualitas baik ditandai dengan sifat karakteristik sebagai berikut :
A. Mie memiliki gigitan relatif kuat
B. Kenyal
C. Permukaan yang tidak lengket
D. Tekstur sangat tergantung komposisi mienya sendiri.
Komposisi mie instan rata-rata adalah sbb : kadar air 7 persen, protein 10 persen/lemak 21 persen dan pati 62 persen. Karena tinggi kandungan lemaknya, maka masalah pencegahan ketengikan serta pemerataan minyak dalam produk perlu mendapat perhatian yang seksama. Mie bila dimasak dengan cepat matang dan setelah matang harus tetap utuh (firm) dan tidak boleh ada solid yang berlarut dalam cairan pemasak, mie tidak boleh terlalu lengket atau kendor (sangging). Tekstur mie dapat diketahui (dirasa) oleh daya kekuatan menahan gigitan dan sapuan permukaan mie dengan permukaan mulut (Koswara, 2009).
|
ANALISA PROSEDUR
- Pembuatan Mie Mentah
Alat dan bahan yang diperlukan antara lain tepung terigu 200 gram, garam 2 gram, air 90 ml, kansui 2 ml, minyak 5 ml, mixer untuk mengaduk adonan, wadah tertutup untuk mengistirahatkan adonan, gilingan kayu untuk menipiskan adonan sebelum masuk ke sheeter, sheeter untuk membentuk adonan menjadi lembaran dan cutter untuk memotong lembaran adonan menjadi untaian mie. Pertama, bahan kering yakni tepung terigu 200 gram dan garam 2 gram dimasukkan ke dalam mixer lalu mixer dinyalakan dan diaduk rata selama 1 menit. Pada pembuatan mie, tepung terigu berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur dan menjadi sumber karbohidrat, protein dan pembentuk sifat kenyal gluten. Sementara garam berfungsi untuk memberi rasa, memperkuat tekstur, meningkatkan temperature gelatinisasi pati dan menurunkan Aw. Setelah 1 menit, bahan cair dimasukkan yakni air 90 ml, kansui 2 ml dan minyak 5 ml lalu dicampur selama 7-10 menit hingga adonan kalis. Kansui berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas dan meningkatkan kehalusan tekstur dan sifat kenyal. Pencampuran adonan ini bertujuan agar homogen dan memicu terjadinya hidrasi air dengan tepung sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Setelah adonan kalis, lalu adonan diambil dari dalam wadah mixer, kemudian dibulatkan adonan dan istirahatkan dalam wadah tertutup selama 10 menit. Setelah itu, adonan dipipihkan terlebih dahulu menggunakan gilingan kayu untuk mempermudah saat diroll press. Selanjutnya diroll press menggunakan sheeter sehingga adonan menjadi bentuk lembaran sebanyak 3-5 kali. Tujuan dari roll press ini adala untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membentuk adonan menjadi lembaran dengan ketebalan tertentu. Setelah diperoleh lembaran adonan, lalu lembaran tersebut dipotong menjadi bentuk untaian mie dengan menggunakan cutter, tujuannya untuk membentuk untaian mie dari lembaran mie panjang dengan lebar masing-masing 1-2 mm. Jadilah mie mentah.
- Pembuatan Mie Telur
Alat dan bahan yang diperlukan antara lain tepung terigu 200 gram, garam 2 gram, telur 40 gram, air 60 ml, kansui 2 ml, minyak 5 ml, mixer untuk mengaduk adonan, wadah tertutup untuk mengistirahatkan adonan, gilingan kayu untuk menipiskan adonan sebelum masuk ke sheeter, sheeter untuk membentuk adonan menjadi lembaran dan cutter untuk memotong lembaran adonan menjadi untaian mie. Pertama, bahan kering yakni tepung terigu 200 gram dan garam 2 gram dimasukkan ke dalam mixer lalu mixer dinyalakan dan diaduk rata selama 1 menit. Pada pembuatan mie, tepung terigu berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur dan menjadi sumber karbohidrat, protein dan pembentuk sifat kenyal gluten. Sementara garam berfungsi untuk memberi rasa, memperkuat tekstur, meningkatkan temperature gelatinisasi pati dan menurunkan Aw. Setelah 1 menit, bahan cair dimasukkan yakni telur 40 gram, air 60 ml, kansui 2 ml dan minyak 5 ml lalu dicampur selama 7-10 menit hingga adonan kalis. Telur berguna untuk membentuk warna dan flavor yang khas, memperbaiki citarasa dan kesegaran mie, membentuk adonan yang kalis, serta meningkatkan nilai gizi dan kelembutan produk. Kansui berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas dan meningkatkan kehalusan tekstur dan sifat kenyal. Pencampuran adonan ini bertujuan agar homogen dan memicu terjadinya hidrasi air dengan tepung sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Setelah adonan kalis, lalu adonan diambil dari dalam wadah mixer, kemudian dibulatkan adonan dan istirahatkan dalam wadah tertutup selama 10 menit. Setelah itu, adonan dipipihkan terlebih dahulu menggunakan gilingan kayu untuk mempermudah saat diroll press. Selanjutnya diroll press menggunakan sheeter sehingga adonan menjadi bentuk lembaran sebanyak 3-5 kali. Tujuan dari roll press ini adala untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membentuk adonan menjadi lembaran dengan ketebalan tertentu. Setelah diperoleh lembaran adonan, lalu lembaran tersebut dipotong menjadi bentuk untaian mie dengan menggunakan cutter, tujuannya untuk membentuk untaian mie dari lembaran mie panjang dengan lebar masing-masing 1-2 mm. Jadilah mie telur.
- Pembuatan Mie Substitusi
Alat dan bahan yang diperlukan antara lain tepung terigu 175 gram, tepung ubi/kedelai 25 gram, garam 2 gram, air 110 ml, kansui 2 ml, minyak 5 ml, mixer untuk mengaduk adonan, wadah tertutup untuk mengistirahatkan adonan, gilingan kayu untuk menipiskan adonan sebelum masuk ke sheeter, sheeter untuk membentuk adonan menjadi lembaran dan cutter untuk memotong lembaran adonan menjadi untaian mie. Pertama, bahan kering yakni tepung terigu 175 gram, tepung ubi/kedelai 25 gram dan garam 2 gram dimasukkan ke dalam mixer lalu mixer dinyalakan dan diaduk rata selama 1 menit. Pada pembuatan mie, tepung terigu berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur dan menjadi sumber karbohidrat, protein dan pembentuk sifat kenyal gluten. Sementara garam berfungsi untuk memberi rasa, memperkuat tekstur, meningkatkan temperature gelatinisasi pati dan menurunkan Aw. Setelah 1 menit, bahan cair dimasukkan yakni air 110 ml, kansui 2 ml dan minyak 5 ml lalu dicampur selama 7-10 menit hingga adonan kalis. Kansui berfungsi untuk mempercepat pengikatan gluten, meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas dan meningkatkan kehalusan tekstur dan sifat kenyal. Pencampuran adonan ini bertujuan agar homogen dan memicu terjadinya hidrasi air dengan tepung sehingga adonan menjadi elastis dan halus. Setelah adonan kalis, lalu adonan diambil dari dalam wadah mixer, kemudian dibulatkan adonan dan istirahatkan dalam wadah tertutup selama 10 menit. Setelah itu, adonan dipipihkan terlebih dahulu menggunakan gilingan kayu untuk mempermudah saat diroll press. Selanjutnya diroll press menggunakan sheeter sehingga adonan menjadi bentuk lembaran sebanyak 3-5 kali. Tujuan dari roll press ini adala untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membentuk adonan menjadi lembaran dengan ketebalan tertentu. Setelah diperoleh lembaran adonan, lalu lembaran tersebut dipotong menjadi bentuk untaian mie dengan menggunakan cutter, tujuannya untuk membentuk untaian mie dari lembaran mie panjang dengan lebar masing-masing 1-2 mm. Jadilah mie substitusi tepung ubi/kedelai.
- Persiapan Analisa
Alat dan bahan yang diperlukan adalah air 300 ml sebagai media memanaskan mie, gelas beker 500 ml untuk wadah saat pemanasan, kompor untuk memanaskan air, timbangan analitik untuk menimbang mie, penggaris untuk mengukur panjang untaian mie dan pisau untuk memotong mie. Pertama, menyiapkan air sebanyak 300 ml lalu memasukkannya ke dalam gelas beker 500 ml. Memanaskan air tersebut diatas kompor hingga airnya mendidih. Lalu menimbang mie sebanyak 25 gram menggunakan timbangan analitik. Lalu memotong untaian mie tersebut dengan panjang 5-9 cm dengan pisau.
· Cooking Time
Mie sebanyak 25 gram yang telah dipotong tadi lalu dimasukkan ke dalam gelas beker yang telah berisi air mendidih sebanyak 300 ml. Lalu stopwatch dinyalakan untuk menghitung waktu sembari untaian mie diaduk. Selama proses tersebut, pasti akan banyak air yang telah menguap, oleh karena itu volume air dalam gelas beker harus tetap dijaga ±90% dari awal dengan cara menambahkan air mendidih lainnya. Setiap 30 detik, diambil 1 untaian mie lalu disqueeze pada bagian tengah mie dan selanjutnya dicek apakah titik putih pada bagian tengah dalam untaian mie sudah hilang atau tidak. Pengecekan ini dilakukan terus hingga titik putih tersebut benar-benar hilang lalu dicatat cooking time yang diperoleh.
· Cooking loss
Air sisa rebusan mie tadi lalu disaring menggunakan kertas saring. Kertas saring tersebut sebelumnya telah diketahui berat awalnya. Setelah penyaringan selesai, kertas saring tersebut diletakkan dalam cawan petri dan ditimbang dengan timbangan analitik. Lalu cawan petri berisi kertas saring dikeringkan dalam oven 105°C hingga diperoleh berat konstan. Setelah diperoleh berat konstan, cawan petri dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Lalu ditimbang beratnya. Kemudian % cooking loss dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
- Daya Pengembangan
Dalam analisa ini dibutuhkan beberapa untaian mie mentah. Untaian tersebut lalu diukur diameternya dengan menggunakan mikrometer skrup pada 10 titik. Setelah itu dirata-rata diameternya. Lalu mie direbus selama beberapa menit dan setelah itu mie yang sudah matang tersebut diukur kembali diameternya. Dari data tersebut % daya pengembangan dapat diperoleh menggunakan rumus sebagai berikut:
- Daya Serap Air
Mie mentah ditimbang sebanyak 25 gram lalu direbus hingga mie nya matang. Kemudian setelah mie matang, air dan mie dipisahkan dengan cara ditiriskan. Mie matang tersebut lalu ditimbang beratnya dengan menggunakan timbangan analitik. Kemudian % daya serap air dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
C. Pengamatan dan Pembahasan
C1. Pengamatan Cooking Time
Jenis Mie
|
Cooking time
| |
Mie mentah
|
4 menit 48 detik
| |
Mi telur
|
6 menit 30 detik
| |
Mie substitusi ubi
|
8 menit 50 detik
| |
Mie substitusi kedelai
|
9 menit
|
Pembahasan
Cooking time adalah waktu yang dibutuhkan untuk menghilangkan titik putih di bagian tengah dalam untaian mie pada saat proses pemasakan (Basman dan Yaclin, 2011). Pada praktikum kali ini pengamatan cooking time dilakukan untuk empat jenis mie yang berbeda, yaitu mie mentah, mie telur, mie substitusi ubi dan mie substitusi kedelai. Mie yang sudah dicetak kemudian direbus didalam air mendidih, dan setiap 30 detik sekali mie dilakukan pengecekan hingga mie dapat terputus secara sempurna. Hal tersebut menunjukan bahwa mie sudah matang atau titik putih pada mie sudah menghilang dengan sempurna.
Mie mentah memiliki cooking time selama 4 menit 48 detik. Mie telur memiliki cooking time selama 6 menit 30 detik, mie substitusi ubi memiliki cooking time selama 8 menit 50 detik, sedangkan mie substitusi kedelai memiliki cooking time selama 9 menit. Terigu mengandung protein yang tinggi yang mampu menyerap air yang tinggi, sehingga dengan tingginya penyerapan air maka waktu pemasakannya akan semakin singkat (Halwan dan Nisa, 2015). Pada mie mentah didapatkan hasil cooking time yang lebih cepat dari ke-empat jenis mie, dan waktu terlama adalah mie substitusi dengan kedelai dengan cooking time selama 9 menit.
Salah satu faktor yang mempengaruhi cooking time adalah proporsi air. Dimana semakin tinggi kadar air maka akan semakin cepat waktu pemasakan. Semakin tinggi suhu panas maka semakin cepat transfer panas yang diterima oleh air yang terdapat dalam bahan sehingga dengan cepatnya transfer panas tersebut dan mempengaruhi cooking time (Khoiri A, 2013). Dari data tersebut didapatkan hasil yang tidak sesuai dengan literatur, karena mie mentah lebih cepat dibandingkan dengan mie yang lainnya. Seharusnya pada mie telur ada tambahan protein yang berasal dari telur serta lebih mudah dalam pengembangan. Pada mie substitusi ubi dan kedelai adanya penambahan protein dari bahan substitusi tersebut. Sehingga pada mie mentah memiliki waktu yang lebih lama menurut literatur. Hasil pengamatan pada praktikum ini bisa saja dikarenakan kurangnya penambahan air pada saat proses pengadonan mie, serta pada saat proses pemipihan adonan mie ditambahkan tepung terigu untuk tidak lengket, namun mie menjadi lebih kering.
Menurut Pratama dan Fithri Choirun Nisa (2014) Kadar protein pada tepung kedelai sebesar 24,66% dan kadar protein tepung terigu sebesar 11,40%. Sedangakan menurut Puspitasari L (2014) kadar protein yang dimiliki oleh tepung ubi adalah 3,14%. Terigu mengandung protein yang tinggi yang mampu menyerap air yang tinggi. Tingginya penyerapan air membuat waktu pemasakan semakin singkat, hal tersebut yang menjadi alasan bahwa mie mentah lebih singkat cooking time nya jika dibandingkan dengan mie telur, mie substitusi ubi ataupun mie substitusi kedelai. Sedangkan mie telur memiliki cooking time yang cukup singkat jika dibandingkan dengan jenis mie substitusi ubi ataupun kedelai yang dibuat. Hal tersebut bisa terjadi karena pada pembuatan mie telur, salah satu bahan yang berbeda dengan mie yang lain adalah dengan adanya penambahan telur. Telur pada pembuatan mie berfungsi untuk meningkatkan mutu protein mie dan menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak mudah terputus-putus. Pada putih telur juga berfungsi mencegah kekeruhan air mie waktu pemasakan dan dapat meningkatkan kemampuan mie dalam menyerap air (daya hidrasi) waktu direbus. Pada kuning telur digunakan sebagai pengemulsi karena dalam kuning telur terdapat lesitin. Sebagai pengemulsi (emulsifier), lesitin juga dapat mempercepat hidrasi air pada tepung dan untuk mengembangkan adonan (Astawan M, 2008).
C2. Pengamatan Daya Serap Air
Jenis Mie
|
Berat Awal Mie
|
Berat Akhir Mie
|
Persen Daya Serap Air
|
Mie mentah
|
25 gram
|
95,17 gram
|
280,68%
|
Mi telur
|
25 gram
|
55,68 gram
|
122,72%
|
Mie substitusi ubi
|
25 gram
|
59,1670 gram
|
136,67%
|
Mie subtitusi kedelai
|
25 gram
|
52,23 gram
|
108,92%
|
Pembahasan
Mie mentah memiliki daya serap air sebesar 280,68%. Mie telur memliki daya serap air 122,72%. Mie substitusi ubi memiliki daya serap air 136,67%. Mie substitusi kedelai memiliki daya serap air 108,92%. Dari hasil tersebut menunjukan bahwa mie mentah memiliki daya serap air yang paling tinggi. Hal ini disebabkan pati yang tergelatinisasi akan membentuk gel dan daya serap air menjadi lebih besar, akibatnya ikatan intermolekuler pecah dan ikatan-ikatan hidrogen mengikat air (Lala FH dkk, 2013). Menurut literatur pada analisis daya serap air pada mie substitusi ubi, protein bersifat menghalangi penyerapan air didalam granula pati. Protein yang semakin tinggi menyebabkan air yang masuk dalam granula pati menjadi sulit sehingga membutuhkan watu gelatinisasi yang lama. Protein berfungsi sebagai bahan pengental dan membentuk tekstur kenyal pada mie kering ubi jalar ungu. Adanya perubahan struktur pati pada mie kering ubi jalar menyebabkan air menjadi sulit masuk kedalam mie kering. Gluten yang ditambahkan merupakan protein yang mengalami denaturasi sehingga pada proses pemasakan menyebabkan pati sulit berikatan dengan air untuk proses gelatinisasinya dan bersifat menghambat air masuk kedalam titik pusat bahan karena sifat dari protein itu sendiri yaitu hidrofobik. Gluten tidak berpengaruh terhadap daya serap air, karena pemanasan menyebabkan terjadi perubahan struktur antara pati dan protein. Air akan terperangkap didalam struktur komplek pati (Widatmoko dan Estiasih, 2015). Pati dengan kandungan amilosa tinggi lebih banyak menyerap air pada proses pemasakan tetapi menjadi lebih cepat menyerap kembali dan cepat keras, maka pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung menyerap air lebih banyak. Tingkat pengembangan dan penyerapan air tergantung pada kandungan amilosa. Makin tinggi kandungan amilosa, kemampuan pati untuk menyerap dan mengembang menjadi lebih besar karena amilosa mempunyai kemampuan membentuk ikatan hidrogen yang lebih besar dari pada amilopektin (Mulyadi AF dkk, 2014). Pada tepung terigu yang digunakan mengandung protein yang tinggi yang mampu menyerap air yang tinggi. Sedangkan daya serap air pada mie substitusi ubi lebih tinggi dibandingkan dengan mie telur, hal ini tidak sesuai dengan literatur. Kemampuan menyerap air dari mi substitusi ubi lebih rendah karena pada tepung ubi tidak memiliki glunin dan gliadin untuk pembentukan gluten yang berpengaruh terhadap penyerapan air. Penambahan tepung terigu pada mie substitusi hanya 175 g, berbeda dengan mie telur sebanyak 200 g. Perbedaan rasio penambahan tepung terigu ini akan dapat menunjukan perbedaan dalam tingkat penyerapan air. Terlebih lagi terdapat penambahan telur dimana pada kuning telur digunakan sebagai pengemulsi karena dalam kuning telur terdapat lesitin. Sebagai pengemulsi (emulsifier), lesitin juga dapat mempercepat hidrasi air pada tepung dan untuk mengembangkan adonan (Astawan M, 2008).
Daya serap air terkecil terjadi pada sampel mie substitusi tepung kedelai. Penurunan daya serap air menunjukan penurunan kadar pati dalam adonan. Penambahan tepung kedelai menyebabkan tekstur mie basah semakin kurang elastis serta agak kasar sehingga porositas mie semakin rendah dan menyebabkan air yang diserap oleh mie semakin sedikit sehingga padatan yang keluar semakin sedikit pula (Widianingrum dkk, 2007).
C3. Pengamatan Cooking Loss
Jenis Mie
|
Berat Awal
|
Berat Akhir
|
Persen Cooking Loss
|
Mie mentah
|
0,935 gram
|
2,1331 gram
|
4,79%
|
Mi telur
|
0,935 gram
|
2,564 gram
|
6,51%
|
Mie substitusi ubi
|
0,935 gram
|
1,265 gram
|
1,32%
|
Mie subtitusi kedelai
|
0,935 gram
|
1,4389 gram
|
2,01%
|
Pembahasan
Cooking loss (susut masak) adalah berat yang hilang selama proses pemasakan (Khoiri A, 2013). Cooking loss atau kehilangan padatan akibat pemasakan terjadi karena lepasnya sebagian kecil pati dari untaian mie saat pemasakan. Pati yang terlepas dari mie menyebabkan kekeruhan. Cara mengetahui cooking loss adalah dengan cara menyaring air rebusan mie dengan kertas saring kemudian padatan yang ada pada kertas saring dikeringkan dioven. Setelah dikeringkan maka dihitung berapa persentase dari cooking loss setiap mie. Mie yang diukur cooking loss adalah mie mentah, mie telur, mie substitusi ubi, dan mie substitusi kedelai.
Dari data yang didapat cooking loss pada mie mentah adalah 4,79%, pada mie telur adalah 6,51%, pada mie substitusi ubi adalah 1,32%, dan pada mie substitusi kedelai adalah 2,01%. Dari data tersebut cooking loss paling besar adalah pada mie telur. Cooking loss yang tinggi disebabkan oleh kurang optimumnya matriks pati tergelatinisasi dan mengikat pati yang tidak tergelatinisasi. Cooking loss juga dipengaruhi oleh ratio amilosa dan amilopektin. Amilosa mudah membentuk gel karena bentuk strukturnya yang linear sehingga memungkinkan pembentukan jaringan tiga dimensi lebih mudah. Semakin rendah kandungan amilosa, menyebabkan struktur gel yang terbentuk lemah. Lemahnya struktur gel pati tersebut menyebabkan padatan yang terlarut lebih besar, sehingga susut masaknya semakin besar (Mulyadi, dkk. 2014). Protein yang tinggi menyebabkan air yang masuk dalam granula pati menjadi sulit sehingga membutuhkan waktu gelatininsasi yang lama. Seharusnya cooking loss yang besar adalah mie substitusi dimana menurut litelatur tepung ubi tidak memiliki banyak amilosa dari kandungan pati sehingga pembentukan gel kemungkinan lebih sulit (Widatmoko dan Estiasih, 2015). Amilosa dan amilo pektin yang terdapat dalam granula pati dihubungkan dengan ikatan hidrogen. Jika granula parti tersebut dipanaskan di dalam air kemudian energi panas yang dihasilkan akan menyebabkan ikatan hidrogen tersebut terputus. Ikatan yang terputus tersebut menyebabkan air masuk ke dalam granula pati dimana air itu kemudian membentuk ikatan hidrogen dengan amilosa dan amilopektin. Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah dan menyebabkan sebagian amilosa dan amilo pektin keluar (Witono dkk, 2012).
Dari literatur tersebut seharusnya mie tepung terigu memiliki cooking loss yang kecil, karena memiliki banyak amilosa yang memiliki struktur gel yang kuat. Menurut Pratama dan Fithri Choirun Nisa (2014) semakin banyak tepung substitusi yang ditambahkan maka proporsi tepung terigu yang ditambahkan semakin sedikit, sehingga kemampuan gluten untuk mengikat bahan semakin menurun. Cooking time yang lama juga diduga mempengaruhi nilai cooking loss yang tinggi. Sehingga jika dilihat dari data tersebut, mie mentah dan mie telur yang tidak ditambahkan tepung substitusi seharusnya memiliki jumlah gluten yang lebih banyak karena menggunakan tepung terigu saja sehingga seharusnya memiliki nilai cooking loss yang rendah. Faktor yang dapat mempengaruhi cooking loss ini terdapat pada jenis tepung yang digunakan pada pembuatan mie, karena gluten memiliki kemampuan untuk membentuk jaringan tiga dimensi yang dapat menghambat keluarnya isi granula pada bahan dan pada saat pemasakanair rebusan tidak dijaga ±90% adri berat awal sehingga air rebusan sangat sulit untuk disaring. Selain itu, suhu pemasakan yang terlalu lama juga dapat mempengaruhi cooking loss ini karena, pada saat perebusan terjadi penetrasi air ke dalam granula pati sehingga menyebabkan terjadinya pengembangan granula pati dan peningkatan kekentalan pada pati. Maka pada saat pemanasan suhu tinggi padatan pati yang terkandung dalam mie akan mudah hilang atau keluar (Safriani N dkk., 2013). Selain itu, pati dengan kandungan amilosa tinggi lebih banyak menyerap air pada proses pemasakan tetapi menjadi lebih cepat menyerap kembali dan cepat keras, maka pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung menyerap air lebih banyak. Tingkat pengembangan dan penyerapan air tergantung pada kandungan amilosa. Makin tinggi kandungan amilosa, kemampuan pati untuk menyerap dan mengembang menjadi lebih besar karena amilosa mempunyai kemampuan membentuk ikatan hidrogen yang lebih besar dari pada amilopektin (Alam dkk., 2007).
C4. Pengamatan Daya pengembangan
Jenis Mie
|
Rerata Diameter Awal
|
Rerata Diameter Akhir
|
Persen Daya pengembangan
|
Mie mentah
|
0,3837 cm
|
0,4943 cm
|
28,82
|
Mi telur
|
0,3772 cm
|
0,5313 cm
|
40,85
|
Mie substitusi ubi
|
0,425 cm
|
0,539 cm
|
33,9
|
Mie subtitusi kedelai
|
0,4279 cm
|
0,5149 cm
|
20,12
|
%daya pengembangan= x 100%
· Mie mentah = x 100% = 28,82%
· Mie telur = x 100% =40,85%
· Mie subtitusi ubi = x 100% =33,9%
· Mie subtitusi Kedelai= x 100% = 20,12%
Pembahasan
Daya pengembangan pada mie merupakan kemampuan mie untuk mengembang menjadi lebih besar dari volume awal. Daya pengembangan pada mie sangat erat kaitannya dengan kemampuan mie dalam menyerap air. Berdasarkan hasil praktikum daya pengembangan untuk mie mentah sebesar 28,82%, mie telur 40,85 %, mie substitusi ubi 33,9% dan mie substitusi kedelai 20,12%.
Berdasarkan data tersebut menunjukan bahwa urutan daya pengembangan dari yang paling terbesar hingga terkecil adalah mie telur, mie substitusi ubi, mie substitusi kedelai dan terakhir adalah mie mentah. Hasil praktikum terhadap daya pengembangan mie telur dan mie basah tidak sesuai dengan literatur, seharusnya penegembangan paling besar terjadi pada mie mentah dibandingkan mie telur. Hal ini disebabkan kandungan pati yang dan gluten dalam mie basah lebih tinggi dibandingkan mie telur. Pati yang cukup tinggi akan tergelatinisasi membentuk gel dan daya serap air menjadi lebih besar, akibatnya ikatan intermolekuler pecah dan ikatan-ikatan hidrogen mengikat air (Lala FH dkk, 2013). Meskipun, pada mie telur terdapat penambahan telur, dimana putih telur yang mengandung albumin dapat meningkatkan kadar air produ. Kemampuan daya ikat air protein gluten lebih kuat dibandingkan protein albumin, sehingga kemampuan menyerap air pada mie mentah lebih tinggi dibandingkan mie telur Lala FH dkk, 2013). beberapa faktor yang menyebabkan ketidaksesuaian hasil tersebut adalah pengukuran untaian mie dengan mikrometer sekrup yang tidak konsisten, bentuk untaian mie yang tidak seragam dan kurangnya ketelitian praktikan dalam mengukur diameter untaian mie.
Sedangkan pada mise substitusi ubi dan kedelai sudah sesuai dengan literatur. Pada mie substitusi tepung kedelai , penambahan tepung kedelai menyebabkan tekstur mie basah semakin kurang elastis serta agak kasar sehingga porositas mie semakin rendah dan menyebabkan air yang diserap oleh mie semakin sedikit sehingga padatan yang keluar semakin sedikit pula (Widianingrum dkk, 2007). Tepung kedelai merupakan produk yang rasio kandungan lemaknya sekitar 18% dan proteinnya 40% (Mardiyanto TC dan Sudarwati S, 2015), kandungan proteinnya adalhah globulin, daya ikat air globulin cukup rendah sehingga daya serap akan air tidak begitu besar dibandingkan mie sustitusi ubi yang kaya akan serat. Serat dalam yang terkandung juga bertanggung jawab dalam menyerap air atau mengikat air shingga meningkatkan kadar air produk (Hardoko dkk, 2010).
PERTANYAAN
1.
Bagaimana
pengaruh penambahan telur pada kualitas mie yang dihasilkan?
Penambahan
telur berfungsi untuk menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak mudah
putus. Putih telur berfungsi untuk mencegah kekeruhan mie pada proses pemasakan.
Kuning telur digunakan sebagai pengemulsi, lechitin juga dapat mempercepat
hidrasi air pada tepung dan mengembangkan adonan (Halwan dan Nisa, 2015). Menurut Koswara, (2009), penambahan telur pada
umumnya dapat meningkatkan mutu karena meningkatnya nilai gizi. Selain itu
sifat mie dapat lebih liat jadi tidak mudah terputus-putus. Putih telur akan
menghasilkan suatu lapisan yang tipis dan kuat pada permukaan mie. Lapisan
tersebut cukup efektif untuk mencegah penyerapan minyak sewaktu digoreng dan
kekeruhan saus mie sewaktu pemasakan. Lesitin pada kuning telur merupakan
pengemulsi yang baik, dapat mempercepat hidrasi air pada terigu, dan bersifat
mengembangkan adonan.
2.
Apa fungsi mensubstitusi mie
dengan menambahkan ubi dan kacang hijau?
Fungsi substitusi bahan baku dengan dengan ubi dan kedelai adalah untuk
diversifikasi produk. Selain itu, untuk mengetahui efektivitas dari cooking time, cooking loss, daya serap
air dan daya pengembangan mie dari setiap sampel dengan bahan baku berbeda dan
menentukan kombinasi perlakuan yang terbaik antara rasio tepung terigu dan
substitusi tepung ubi dan kedelai. Pada umumnya mie berbahan baku terigu yang
merupakan produk impor. Salah satu cara untuk mengurangi impor terigu dengan
menggunakan bahan lokal non terigu dalam pembuatan mie. Sedangkan, Indonesia
masih mengimpor terigu 2 juta ton pertahun dan jumlah ini meningkat 8% pertahun.
Bagi Indonesia yang bukan merupakan negara penghasil gandum,substitusi sebagian
terigu dengan tepung non terigu untuk pembuatan makanan akan membantu menhemat
devisa negara (Muridati dkk, 2015).
Substitusi kacang hijau
dalam pembuatan mie, diharapkan sebagai pengolahan fortifikasi protein bagi
kesehan, dan penambahan mutu mie serta penambah nilai gizi protein mie sebagai
bahan pengganti bahan pokok seperti beras. Ubi
jalar memiliki kandungan nutrisi yang sangat bermanfaat bagi tubuh diantaranya
provitamin A, vitamin C, kalsium, serat dan kandungan antosianin yang tinggi. Serat dapat membantu proses
pencernaan usus dan dapat mencegah terjadinya kanker saluran pencernaan dengan
mengikat zat karsinogenik penyebab kanker dalam tubuh. Senyawa antosianin yang terdapat
pada ubi jalar berfungsi sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas karena
berperan dalam mencegah penuaan, kanker, dan penyakit degeneratif seperti
arteriosklerosis. Antosianin juga memiliki kemampuan sebagai anti hipertensi,
dan menurunkan kadar gula darah (anti hiperglisemik). Untuk mengganti bahan
utama tepung terigu tersebut dipilih ubi jalar. Pada pembuatan mie kering
diperlukan adanya gluten sebagai pembentuk struktur elastisitas pada produk mie
kering. Gluten merupakan protein tidak larut air yang hanya terdapat di dalam
tepung terigu. Di dalam tepung terigu 12,8% kandungan di dalamnya merupakan
gluten dan 65% non gluten (Widatmoko
dan Estiasih, 2015).
3.
Mengapa penambahan bahan
substitusi mempengaruhi:
a.
Cooking
time
Penambahan bahan substitusi pada
pembuatan mie ini berpengaruh terhadap cooking time. Dimana dengan adanya bahan
substitusi ini menyebabkan cooking time
semakin cepat sesuai dengan protein yang terkandung pada bahan baku. Dimana
menurut literatur
protein yang tinggi yang mampu menyerap air yang tinggi, sehingga dengan
tingginya penyerapan air maka waktu pemasakannya akan semakin singkat (Halwan
dan Nisa, 2015).
b.
Daya
Serap Air
Terdapatnya bahan
substitusi dalam mie mengakibatkan penurunan penyerapan air atau rehidrasi
produk mie. Karena, penambahan tepung kedelai ataupun ubi sebagai bahan
substitusi seperti tepung kedelai menyebabkan tekstur mie basah semakin kurang
elastis serta agak kasar sehingga porositas mie semakin rendah dan menyebabkan
air yang diserap oleh mie semakin sedikit sehingga padatan yang keluar semakin
sedikit pula (Widianingrum dkk, 2007). Nilai daya serap air yang semakin
tinggi menunjukkan semakin banyak air yang mampu diserap oleh mie sehingga mie
semakin mengembang. Pati yang tergelatinisasi akan membentuk gel dan daya serap
air menjadi lebih besar, akibatnya ikatan intermolekuler pecah dan
ikatan-ikatan hidrogen mengikat air (Fajrin,dkk. 2013). Analisis
daya serap air dilakukan dengan cara pengurangan berat mie setelah dimasak
dengan berat mie sebelum dimasak, kemudian hasil perhitungan tersebut dibagi
berat mie sebelum dimasak dan dikali 100%. Gluten
pada tepung terigu yang bersifat hidrofobik akan membentuk jaringan tiga
dimensi sehingga akan mengikat air dan akhirnya volume dari produk akan
mengembang. Sehingga dengan semakin banyak penambahan serat maka menurunkan nilai daya
serap air dan mengakibatkan semakin rendahnya rasio pengembangan. Nilai rasio
pengembangan berkorelasi positif dengan nilai daya serap air dan waktu
pemasakan mie (Weni L. Dan Elok Z. 2015).
c.
Cooking
loss
Penambahan bahan substitusi berpengaruh
terhadap cooking loss dikarenakan
pada tepung substitusi tidak memiliki amilosa yang banyak seperti halnya pada
tepung terigu. Amilosa mudah membentuk gel karena bentuk strukturnya yang linear
sehingga memungkinkan pembentukan jaringan tiga dimensi lebih mudah. Semakin
rendah kandungan amilosa, menyebabkan struktur gel yang terbentuk lemah.
Lemahnya struktur gel pati tersebut menyebabkan padatan yang terlarut lebih
besar, sehingga susut masaknya semakin besar (Mulyadi, et all, 2014). Cooking
loss yang kecil dapat meminimalisir terjadinya kehilangan bobot bahan yang juga
berhubungan dengan kandungan nutrisi pada mie itu sendiri (Witono dkk, 2012).
d.
Daya
pengembangan
Daya pengembangan erat
kaitannya dengan penyerapan air pada produk mie. penyerapan air sangat
bergantung pada kandungan pati dan protein dalam bahan. Pati yang cukup tinggi
akan tergelatinisasi membentuk gel dan daya serap air menjadi lebih besar,
akibatnya ikatan intermolekuler pecah dan ikatan-ikatan hidrogen mengikat air
(Lala FH dkk, 2013). Jadi, semakin tinggi kandungan pati amilosa dan protein
suatu bahan maka daya serap airnya akan tinggi yang mengakibatkan peningkatan
volume atau pengembangan produk dapat terjadi.
4. Manakah kualitas mie yang paling baik diantara keempat
jenis mie yang dibuat? Mengapa demikian?
Kualitas mie yang paling baik dilihat
dari cooking time adalah mie mentah, dimana mie tersebut
memiliki cooking time 4 menit 48 detik. Namun kualitas mie
pada cooking loss paling baik adalah
mie substitusi ubi,
dimana persentasi cooking loss pada mie substitusi ubi paling
rendah sebesar 1,32%.
Pada daya serap air produk yang paling baik adalah mie mentah.
Pada daya pengembangan mie telur lebih baik dibanding 3 jenis
mie lainnya. Pada cooking loss tidak
sesuai dengan literatur, karena mie mentah dan mie telur yang tidak ditambahkan
tepung substitusi seharusnya memiliki jumlah gluten yang lebih banyak karena
menggunakan tepung terigu saja sehingga seharusnya memiliki nilai cooking loss yang rendah (Mulyadi dkk, 2014). Adanya
ketidaksesuaian hasil dengan litelatur dikarenakan formulasi yang berbeda, dan
suhu pada saat perbusan. Namun, dari hasil pengukuran dan perhitungan pada
4 parameter teresebut dapat disimpulkan bahwa mie yang paling baik adalah mie
mentah, karena memiliki cooking time dan
daya serap air yang paling besar. Dalam aplikasinya konsumen mie lebih suka
terhadap produk yang cepat matang dan menghasilkan mie dengan kondisi
mengembang sempurna (Koswara, 2009).
5. Apa
fungsi pemasakan pada proses pembuatan mie?
Pada pembuatan mie dilakukan proses
pemasakan. Proses pemasakan ini selain untuk mematangkan mie juga memiliki
tujuan lain. Tujuan lain dari proses pemasakan adalah agar terjadi proses
gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga mine menjadi kenyal. Gelatinisasi merupakan
peristiwa pembengkakan granula pari sehingga granula tersebut tidak dapat
kembali pada posisi semula. Gelatinisasi ini membuat pati meleleh dan akan
membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mie yang dapat memberikan
kelembuatan mie, meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi
mie (Puspasari K, 2007).
Menurut Koswara (2009), setelah
pembentukan mie dilakukan proses pengukusan. Pada proses ini terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten
sehingga dengan terjadinya dehidrasi air dari
gluten akan menyebabkan timbulnya kekenyalan mie. Hal ini disebabkan oleh putusnya ikatan hidrogen, sehingga rantai ikatan
kompleks pati dan gluten lebih rapat. Pada
waktu sebelum dikukus, ikatan bersifat lunak dan fleksibel, tetapi setelah dikukus
menjadi keras dan kuat. Pada proses selanjutnya, mie digoreng dengan minyak pada suhu 140 – 150 oC selama 60 sampai 120
detik. Tujuannya agar terjadi dehidrasi
lebih sempurna sehingga kadar airnya menjadi 3 – 5 %. Suhu minyak yang tinggi menyebabkan air menguap dengan cepat dan
menghasilkan pori-pori halus pada
permukaan mie, sehingga waktu rehidrasi dipersingkat. Teknik tersebut biasa dipakai dalam pembuatan mie instan. Setelah digoreng, mie ditiriskan dengan cepat
hingga suhu 40 oC dengan kipas angin
yang kuat pada ban berjalan. Proses tersebut bertujuan agar minyak memadat dan menempel pada mie. Selain itu juga membuat
tekstur mie menjadi keras. Pendinginan
harus dilakukan sempurna, karena jika uap air berkondensasi akan menyebabkan tumbuhnya jamur. Pengeringan dapat juga
dilakukan menggunakan oven
bersuhu 60 oC sebagai pengganti proses penggorengan, dan mie yang diproduksi dikemas dengan plastik.
6. Apakah
yang terjadi pada mie pada saat proses pemasakan?
Pemasakan
untaian mie dengan cara perebusan atau pengukusan (steamieng) dengan uap air bertujuan
untuk menggelatinisasi pati dan mengkoagulasi gluten sehingga mie menjadi
kenyal. Proses gelatinisasi menggunakan beberapa tahap yaitu pembasahan, gelatinisasi,
dan solidifikasi. Mie pada mulanya mengalamie pembasahan di permukaannya
sehingga mie bersifat elastis dan tidak mudah patah. Selanjutnya, mie tergelatinisasi karena penetrasi uap panas ke dalam mie sehingga mie menjadi
lentur atau liat. Gelatinisasi merupakan
peristiwa pembengkakan granula pati sehingga
granula tersebut tidak dapat kembali pada posisi semula (Winarno FG, 2008). Gelatinisasi ini
membuat pati meleleh dan akan membentuk lapisan tipis (film) pada permukaan mie
yang dapat memberikan kelembutan mie, meningkatkan daya cerna pati, dan
mempengaruhi daya rehidrasi mie (Puspasari K, 2007).
Menurut
Koswara (2009), setelah pembentukan mie dilakukan proses
pengukusan. Pada proses ini terjadi
gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air dari gluten akan menyebabkan timbulnya kekenyalan
mie. Hal ini disebabkan oleh putusnya
ikatan hidrogen, sehingga rantai ikatan kompleks pati dan gluten lebih rapat. Pada waktu sebelum dikukus, ikatan bersifat lunak
dan fleksibel, tetapi setelah dikukus menjadi keras dan kuat. Pada proses
selanjutnya, mie digoreng dengan minyak
pada suhu 140 – 150 oC selama 60 sampai 120 detik. Tujuannya agar terjadi dehidrasi lebih sempurna sehingga kadar airnya
menjadi 3 – 5 %. Suhu minyak yang tinggi
menyebabkan air menguap dengan cepat dan menghasilkan pori-pori halus pada permukaan mie, sehingga waktu rehidrasi
dipersingkat. Teknik tersebut biasa dipakai
dalam pembuatan mie instan. Setelah
digoreng, mie ditiriskan dengan cepat hingga suhu 40 oC dengan kipas angin yang kuat pada ban berjalan. Proses tersebut
bertujuan agar minyak memadat dan
menempel pada mie. Selain itu juga membuat tekstur mie menjadi keras. Pendinginan harus dilakukan sempurna, karena jika
uap air berkondensasi akan menyebabkan
tumbuhnya jamur. Pengeringan dapat juga dilakukan menggunakan oven bersuhu 60 oC sebagai pengganti proses
penggorengan, dan mie yang diproduksi dikemas
dengan plastik.
7.
Faktor-faktor
apa sajakah yang mempengaruhi kualitas mie?
Menurut
Koswara (2009), berdasarkan mutu fisik dan kimia, mie
instant yang berkualitas baik ditandai dengan sifat karakteristik sebagai
berikut :
A.
Mie memiliki gigitan relatif kuat
B.
Kenyal
C.
Permukaan yang tidak lengket
D.
Tekstur sangat tergantung komposisi mienya sendiri.
Komposisi mie instan rata-rata
adalah sbb : kadar air 7 persen, protein 10 persen/lemak 21 persen dan pati
62 persen. Karena
tinggi kandungan lemaknya, maka masalah pencegahan ketengikan serta pemerataan minyak
dalam produk perlu mendapat perhatian yang seksama. Mie bila dimasak dengan
cepat matang dan setelah matang harus tetap utuh (firm) dan tidak boleh ada solid
yang berlarut dalam cairan pemasak, mie tidak boleh terlalu lengket atau
kendor (sangging). Tekstur
mie dapat diketahui (dirasa) oleh daya kekuatan menahan gigitan dan sapuan permukaan mie
dengan permukaan mulut (Koswara, 2009).
Menurut Koswara (2009), untuk mendapatkan adonan
yang baik banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah :
jumlah air yang ditambahkan, waktu dan suhu pengadukan. Air akan menyebabkan
serat-serat glutein mengembang, karena glutein menyerap air. Dengan peremasan,
serat-serat glutein ditarik, disusun berselang dan terbungkus dalam pati.
Dengan demikian terbentuklah adonan yang lunak, halus serta elastis. Jumlah air yang ditambahkan,
tergantung jenis terigunya biasanya berkisar antara 28 – 38 persen. Lebih dari
38 persen akan menyebabkan adonan menjadi becek. Sebaliknya bila terlalu
sedikit air adonan akan rapuh. Waktu pengadukan berkisar antara 2 – 10 menit,
dengan suhu adonan yang baik antara 25 – 45 0C. Jika suhu lebih rendah dari 25
oC adonan menjadi keras, rapuh dan kasar. Sedangkan jika lebih tinggi dari 45 oC,
kegiatan enzim meningkat dan hal itu akan merangsang perombakan gluten dengan
akibat turunnya densitas mie, sebaliknya akan meningkatkan kelengketan.
KESIMPULAN
Mie merupakan produk pangan yang dibuat dari adonan
terigu atau tepung lainnya. Sebagai bahan utama dengan atau tanpa bahan
tambahan lain. Tujuan dari pembuatan mie adalah untuk diversifikasi pangan yang
dapat dikategorikan sebagai salah satu komoditi pangan, karena mie dapat berfungsi
sebagai bahan pangan pokok. Faktor-faktor
ynag mempengaruhi kualitas adonan adalah jumlah air yang ditambahkan, lamanya
pengadukan dan suhu. Sedangkan kualitas mie yang dihasilkan dipengaruhi oleh
adanya gluten pada bahan baku, tinggi dan rendahnya protein bahan baku, serta
kadar air pada adonan.
Pengamatan yang dilakukan pada mie adalah cooking time, cooking loss, daya serap air dan daya pengembangan.
Cooking time adalah waktu yang
dibutuhkan untuk menghilangkan titik putih di bagian tengan dalam untaian mie
pada saat proses pemasakan. Cooking time
yang dihasilkan dari mie mentah adalah 4
menit 48 detik.Pada mie telur adalah
6 menit 30 detik. Pada mie substitusi ubi
adalah 8 menit 50 detik dan pada mie
substitusi kedelai adalah 9
menit. Dari data tersebut terlihat
bahwa mie mentah memiliki cooking time
yang lebih cepat
dibandingkan dengan mie lainnya.
Cooking
loss atau kehilangan padatan akibat pemasakan terjadi karena lepasnya sebagian
kecil pati dari untaian mie saat pemasakan. Pati ynag terlepas dari mie
menyebabkan kekeruhan. Cara mengetahui cooking
loss adalah dengan cara menyaring air rebusan mie dengan kertas saring
kemudian padatan yang ada pada kertas saring dikeringkan dioven. Setelah
dikeringkan maka dihitung berapa persentase dari cooking loss setiap mie. Dari data yang didapat cooking loss pada mie mentah adalah 4,79%, pada mie telur adalah 6,51%, pada mie substitusi ubi
adalah 1,32%, dan pada mie substitusi
kedelai adalah 2,01%.
Dari data tersebut cooking loss
paling besar adalah pada mie telur.
Daya
serap air pada mie adalah kemampuan mie untuk menyerap atu rehidrasi kembali
air. Dari hasil data yang didapat untuk mie mentah sebesar 280,68%, mie telur
122,72%, mie substitusi ubi 136,67% dan mie sustitusi kedelai 108,92%.
Berdasarkan data maka mie mentah yang memiliki daya serap air yang paling
besar.
Daya
pengembangan adalah kemapuan untuaian mie untuk mengembang melebihi volume
awalnya dengan pengaruh penyerapan air oleh mie itu sendiri. Dari data yang
didapat mie mentah mengalami pengembangan sebesar 4,79%, mie telur 6,51%, mie
substitusi ubi 1,32% dan mie substitusi kedelai sebesar 2,01%. Dari hasil
tersebut dapat diketahui mie yang memiliki pengembangan paling besar adalah mie
telur. Berdasarkan 4 parameter tersebut, cooking
loss, cooking time, daya serap air dan daya pengembangan, maka kualitas mie
yang yang paing baik adalah mie basah. Karena, memiliki cooking time yang cepat dan daya serap air yang tinggi.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul, MMA. 2014. Analisis Cemaran Bakteri Pada Mie Basah yang Beredar di Pasar Sentral
Kota Gorontalo. Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo
Antarlina. S dan S. Purnomo. 2009. Mie Sukun Ala BPTP Jatim. Jawa Timur:
BPTP
Badilangoe. 2012. Kualitas Mie Basah Dengan Penambahan Ekstrak Wortel (Daucus Carota L.)
Dan Subsitusi Tepung Bekatul. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Faridah A dan S. Bambang. 2014. Penambahan
Tepung Porang Pada Pembuatan Mi Dengan Substitusi Tepung Mocaf (Modified
cassava Flour). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 25(1): 98-105
Koswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan Mie. http://ebookpangan.com. Diakses pada
tanggal 26 Mei 2017. Pukul 22.33
Mahanany. 2013. Pemanfaatan Tepung Kulit Singkong Sebagai Bahan Substitusi Pembuatan
Mie Basah Ditinjau Dari Elastisitas Dan Daya Terima. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Purba, R. 2011. Pengaruh Jenis Tepung yang Digunakan dan Konsentrasi Kitosan Terhadap
Mutu Mie Basah. Medan: Universitas Sumatera Utara
Rosida dan R. Dwi.
2012. Mie Dari Tepung Komposit
(Terigu,Gembili (Dioscorea Esculenta), Labu Kuning) Dan Penambahan Telur.
Skripsi. Surabaya: Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
DAFTAR PUSTAKA
TAMBAHAN
Alam N, Saleh MS,
Haryadi SU. 2007. Sifat Fisikokimiea dan Sensoris Instant Starch Noodle (Isn)
Pati Aren Pada Berbagai Cara Pembuatan. Jurnal Agroland 14 (4): 269-274
Astawan M. 2008.
Membuat Mie dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya
Basman, Arzu dan Yaclin. 2011. Quick-Boiling
Noodle Production by Using Infrared Drying. Journal of Food Engineering.
106:245-252
Fajrin. Dkk. 2013. Uji
Karakteristik Mie Instan Berbahan-Baku Tepung Terigu dengan substitusi Mocaf. Universitas Brawijaya. Jurnal Bioproses Komoditas Tropis.Vol. 1 No.2
Halwan, Cefi dan Nisa, Fitri. 2015. Pembuatan
Mie Kering Gembili dan Bekatul (Kajian Proporsi Terigu: Gembili dan Penambahan
Bekatul). Jurnal Pangan dan Agroindustri 3(4): 1548-1559
Hardoko, H, L dan Siregar, TM. 2010. Pemanfaatan Ubi Jalar Ungu (Ipomoea Batatas
L. Poir) Sebagai Pengganti Sebagian
Tepung Terigu Dan Sumber Antioksidan Pada Roti Tawar. Jurnal Teknologi dan
Industri Pangan, Vol. 19(1): 25-32
Khoiri, Akhmad. 2013. Sifat
Tekstural dan Cooking Quality Mie Bebas Gluten Dari Tepung Sukun. Madura:
Universtas Trunojoyo
Lala, FH., Susilo, B., dan Komar, N. 2013. Uji Karakteristik Mie Instan Berbahan Baku
Tepung Terigu Dengan Substitusi Mocaf. Jurnal Bioproses Komoditas Tropis, Vol.
1(2): 11-20
Mardiyanto, TC dan Sudarwati, S. 2015. Studi Nilai Cerna Protein Susu Kecambah
Kedelai Varietas Lokal Secara In Vitro. Prosiding Seminanr Nasional Masy
Biodiv Indon, Vol. 1(5): 1256-126
Mulyadi, Arie dkk. 2014. Karakteristik
Organoleptik Produk Mie Kering Ubi Jalar Kuning (Ipomea batatas) (Kajian
Penambahan Telur dan CMC). Jurnal Teknologi Pertanian 15(1): 25-36
Muridati, A., Anggrahini, S., Supriyanto dan A, ‘Alim.
2015. Peningkatan Kandungan Protein Mie
Basah Dari Tapioka Dengan Substitusi Tepung Koro Pedang Putih (Canavilla
esiformis L.). Agritech, Vol. 35(3): 251-260
Pratama dan Fithri
Choirun Nisa. 2014. Formulasi Mie Kering Dengan Subsitusi Tepung Kimpul
(Xanthosoma Sagittifolium) Dan Penambahan Tepung Kacang Hijau (Phaseolus
Radiatus L.). Jurnal Pangan Agroindustri 2(4):101-112
Puspitasari L. 2014.
Kadar Protein dan Sifat Organoleptik Mie Ubi Jalar Ungu Sebagai Bahan Baku Penambahan Jamur Tiram.
<http://eprints.ums.ac.id/28488/14/Jurnal_ Publikasi.pdf>, diunduh pada
tanggal 4 Juni 2017 jam 04.00
Puspasari
K. 2007. Aplikasi Teknologi Dan Bahan
Tambahan Pangan Untuk Meningkatkan Umur
Simpan Mie Basah Matang. Skripsi.
Bogor: Institut Pertanian Bogor
Safriani, Ryan
Moulana, dan Ferizal. 2013. Pemanfaatan
Pasta Sukun (Artocarpus Altilis) Pada Pembuatan Mie Kering. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia
5(2):17-24
Weni. L. Elok. Z. 2015. Formulasi
Pembuatan Mie Instan Bekatul (Kajian Penambahan Tepung Bekatul Terhadap
Karakteristik Mie Instan).Universitas
Brawijaya. Jurnal Pangan dan Agroindustri
Vol. 3 No 1 p.174-185
Widianingrum, Widowati, S dan Soekarto, ST. 2007. Pengayaan Tepung Kedelai Pada Pembuatan Mie
Basah Dengan Bahan Baku Tepung Terigu Yang Disubstitusi Tepung Garut.
Jurnal Pascapanen, Vol. 2(1): 41-48
Widatmoko, Roni dan T. Estiasih. 2015. Karakteristik Fisikokimia dan Organoleptik Mie Kering Berbasis Tepung
Ubi Jalar Ungu Pada Berbagai Tingkat Penambahan Gluten. Jurnal Pangan dan
Agroindustri 3(4): 1368-1392
Winarno FG. 2008. Kimiea
Pangan Dan Gizi. Bogor: M-Brio Press
Witono, JR dkk. 2012. Optimasi Rasio
Tepung Terigu, Tepung Pisang dan Tepung Ubi Jalar serta Konsentrasi Zat Aditif
pada Pembuatan Mie. Malang: Unversitas Brawijaya
No comments:
Post a Comment